iden

Anak Penyandang Disabilitas

Kesehatan gigi dan mulut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) umumnya buruk. Masalah kesehatan gigi dan mulut ABK di dominasi dengan tingginya angka karies gigi dan radang gusi. Karies adalah kerusakan jaringan gigi yang diawali tumbuh bercak putih pada gigi yang lama kelamaan akan membentuk lubang gigi. Karies gigi terjadi akibat bakteri di mulut. Sedangkan, radang gusi atau gingivitis adalah penyakit pada gusi yang ditandai dengan gusi merah dan mudah berdarah akibat akumulasi plak dan kalkulus gigi.

 

Kesehatan gigi dan mulut dapat dijaga dengan:

  1. Rutin menyikat gigi sehabis makan dan sebelum tidur
  2. Sikat gigi menggunakan pasta gigi yang mengandung fluoride. Penggunaan pasta gigi mengandung fluoride diperbolehkan untuk anak usia diatas 3 tahun atau anak yang reflek kumurnya sudah baik.
  3. Penggunaan benang gigi (dental floss) untuk membersihkan sela-sela gigi.

 

Teknik menyikat gigi untuk ABK

  • Wheel chair

           Orang tua duduk dibelakang kursi roda anaknya dengan posisi kursi roda sudah terkunci. Kemudian orang tua memegang/fiksasi rahang anaknya untuk dilakukan kegiatan menyikat gigi.

  • Kasur/sofa

           Baringkan anak di kasur/sofa dengan posisi kepala pada paha orang tua. Pegang/fiksasi kepala dan bahu anak dengan salah satu tangan, kemudian tangan lainnya untuk melakukan kegiatan sikat gigi.

  • Berbaring dilantai

           Berbaring di lantai dengan posisi kepala pada bantal. Orang tua bisa menggunakan lutut sebagai tumpuan, satu tangan memegang rahang dan tangan satu lagi menyikat gigi anaknya.

  • Kursi Beanbag

           Untuk anak-anak yang mengalami kesulitan duduk tegak, beanbag dapat membuat anak tetap nyaman tanpa takut terjatuh. Peknik menyikat sama dengan metode bed or sofa.

  • Duduk dilantai

 

           Anak duduk dilantai. Orang tua duduk pada kursi, jika anak tidak kooperatif maka bisa gunakan lutut untuk menahan/ fiksasi bahu dan kepalanya.

Hasil sensus Penduduk Indonesia tahun 2007 diketahui bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus berusia 7-12 tahun diketahui sebanyak 254.134 orang, dengan populasi dominan adalah anak tunadaksa sebanyak 95.891 orang (37,73%) dan 158.243 orang (62,27%) dibagi dalam berbagai jenis ketunaan lainnya.

 

Anak berkebutuhan khusus sering kali mengalami berbagai persoalan psikologis yang timbul akibat kelainan bawaan dirinya maupun akibat respon lingkungan terhadap ketunaan yang dialami anak tersebut. Dukungan dari lingkungan sosial bagi anak berkebutuhan khusus sangat memeengaruhi perkembangan anak tersebut (Efendi, 2008). Dalam kenyataannya, anak berkebutuhan khusus yang memperoleh dukungan sosial yang baik dari lingkungannya mampu menunjukkan prestasi tak kalah gemilang baik dalam bidang pendidikan formal maupun ketrampilan sehingga anak tersebut mampu mandiri dalam kehidupannya (Walinono, 1999). Di sisi lain anak-anak usia sekolah yang secara fisik maupun mental normal meskipun memperoleh dukungan sosial yang baik dari ingkungan beberapa anak menunjukkan prestasi dan sebagian lainnya menunjukkan perilaku negatif. 

Orang tua telah memberikan dukungan emosional, penilaian, informasi dan instrumental. Dari keempat dukungan tersebuat maka dapat dilihat bahwa faktor dukungan emosional adalah dukungan yangpaling banyak dilakukan. Hal ini mungkin terkait dengan kondisi anak yang mengalami tunadaksa yang membutuhkan lebih banyak dukungan emosional dibandingkan anak normal. . Jika anak dengan kebutuhan khusus menerima dukungan yang baik dari orangtua atau lingkungan sekitarnya maka diharapkan anak dapat berkembang lebih baik sesuai kemampuan yang dimilikinya. Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak. Anak berkebutuhan khusus memerlukan perlakuan yang wajar, bimbingan, pengarahan, belajar bersosialisasi dan bermain dengan teman seusianya, agar mendapat peluang dan kesempatan yang lebih luas untuk belajar tentang pola-pola perilaku yang datat diterima, sehingga tidak menghambat perkembangan sosialnya. Lingkungan merupakan sumber informasi yang mendasar, menjadi persediaan utama pemenuhan kebutuhan, dan penafsir utama perilaku sosial yang dapat diterima. Untuk itu penting bagi lingkungan, khususnya keluarga untuk mengembangkan struktur kesempatan, struktur dukungan, dan struktur penguatan tertentu yang memungkinkan anak dapat belajar memperoleh tingkahlaku baru yang dapat diterima dan selaras dengan norma-norma yang berkembang di lingkungannya, sehingga mampu mengeliminir dampak sosial sebagai akibat dari kondisinya

 

Sebagai gambaran tentang kompleksnya proses kognitif pada anak berkebutuhan khusus dapat dicontohkan pada anak yang mengalami ketunagrahitaan. Para ahli psikologi perkembangan umumnya beranggapan bahwa jika anak tunagrahita dibandingkan dengan

Anak normal yang mempunyai mata ajar yang sama secara teoritis akan memiliki tahap perkembangan kognitif yang sama. Asumsinya, bahwa individu secara aktif mengkonstruksikan struktur internalnya melalui interaksi dengan lingkungan. Namun, ternyata pendapat ini tidak seluruhnya benar sebab ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa anak tunagrahita yang memiliki mata ajar yang sama dengan anak normal tidak memiliki keterampilan kognitif yang lebih unggul dari pada anak normal. Anak normal memiliki kaidah dan strategi dalam memecahkan masalah, sedangkan anak tunagrahita bersifat trial and error. Sementara itu, sekalipun kemampuan kognitif anak tunagrahita pada tahap sensori motor tidak berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya, namun : (1) anak-anak terbelakang berat tidak mampu memahami konservasi, bahkan tidak mampu mencapai tahap operasi konkret, (2) Anak-anak yang terbelakang ringan mampu melakukan tugas-tugas konservasi yang lebih sederhana sebaik pada anak normal dengan MA yang sama, dan (3) Anak-anak terbelakang mental ringan tidak mampu dalam konservasi volume, dan tidak akan pernah mencapai tahap operasional formal (Ingal, 1978). Pernyataan terakhir juga senada dengan pendapat Zaenal Alimin (2005) bahwa sekalipun perkembangan kognitif pada anak tunagrahita hakekatnya sama seperti pada anak normal, namun, untuk tahapan berfikir yang sifatnya abstrak menjadi wilayah yang sulit dicapai.

Hal di atas menjelaskan bahwa terjadinya keterbelakangan mental dapat berdampak kepada terjadinya hambatan dalam satu atau beberapa proses kognitif seperti bahasa, persepsi, konsentrasi, memori, pemunculan ide-ide, evaluasi, dan penalaran. Dalam kaitan dengan bahasa, keterbelakangan mental menjadikan perkembangan bahasanya terlambat. Penguasaan kosa katanya menjadi sangat terbatas, artikulasinya tidak jelas, intonasinya datar, kesulitan dalam gramatikal, dan dalam memahami pembicaraan orang lain. Dalam hal persepsi, menjadikan kesulitan dalam menafsirkan apa yang dilihat atau didengarnya. Dalam hal konsentrasi, anak tidak mampu mencurahkan energinya pada suatu obyek yang dihadirkan atau dipelajari dalam waktu yang relatif lama tanpa teralihkan kepada obyek lain. Berkenaan dengan memori, sekalipun dalam ingtaan jangka panjang tampak tidak berbeda dengan anak normal, namun berbeda dalam hal ingatan jangka pendek. Sedangkan keterbatasan penalarannya, menjadikan kehidupan mentalnya kurang fleksibel dalam menerima, mengolah, dan menyatakan kembali informasi yang diterimanya sesuai hukum logika. Adanya hambatan kognitif di atas, mengisyaratkan bahwa dalam konseling anak berkebutuhan khusus menuntut konselor untuk melakukan upaya-upaya khusus menyesuaikan dengan perkembangan kognitif anak. Misalnya, melalui pemanfaatan media yang sederhana, konkret, dan ada di sekitar anak dalam kehidupan sehari-hari, pemberian penjelasan yang lebih, penggunaan bahasa yang sederhana, serta dilaksanakan secara telaten, kreatif, dan terstruktur. Hal ini selaras dengan penegasan (Thomson, dkk. (2004) bahwa konseling akan lebih efektif, apabila konselor mampu mencocokkan antara penggunaan metode konseling dengan kemampuan kognitif anak.

 

Masa anak merupakan masa-masa kritis dimana pengalaman-pengalaman dasar sosial yang terbentuk pada masa itu akan sulit untuk diubah dan terbawa sampai dewasa. Karena itu pengalaman negatif anak berkebutuhan khusus dalam berinteraksi dengan lingkungan yang terjadi pada masa awal kehidupannya akan dapat merugikan perkembangan social anak selanjutnya, seperti sikap menghindar atau menolak untuk berpartisipasi dengan lingkungannya. Semakin bertambahnya usia, pengalaman sosial anak semakin berkembang dengan berbagai dinamikanya, dan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan akan mewarnai perkembangan kepribadiannya. Perkembangan sosial anak berkebutuhan khusus sangat tergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak. Disamping itu, akibat kondisinya juga sering menjadikan anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan dalam belajar sosial melalui identifikasi maupun imitasi. Manusia sebagai mahluk sosial selalu memerlukan kebersamaan dengan orang lain. Demikian pula dengan anak berkebutuhan khusus. Akan tetapi karena hambatan yang dialaminya dapat menjadikan anak mengalami kesulitan dalam menguasai seperangkat tingkah laku yang diperlukan untuk menjalin relasi social yang memuaskan dengan lingkungannya. Perkembangan sosial anak berkebutuhan khusus akan tumbuh dengan baik apabila sejak awal dalam interaksi bersama di terdekatnya keluarga tumbuh elemen-elemen saling membantu, saling menghargai, saling mempercayai, dan saling toleransi. Namun, karena hambatan-hambatan yang dialaminya, sering menjadikan hal tersebut kadang sulit didapat. Anak sering tidak memperoleh kepercayaan dari lingkungannya, yang akibatnya tidak saja dapat menumbuhkan perasaan tidak dihargai, tetapi juga dapat menjadikan dirinya sulit untuk mempercayai orang lain. Toleransi yang berlebihan atau sikap pemanjaan dalam lingkungan keluarga, juga dapat menimbulkan masalah sosial tersendiri ketika anak masuk dalam lingkungan yang lebih luas. Misalnya ketika anak memasuki lingkungan sekolah, dimana ia dituntut untuk tunduk pada aturan dan disiplin sebagaimana anak yang lain tanpa kecuali. Masalah sosial yang muncul, misalnya anak menjadi merasa tidak diperhatikan, merasa tertekan, merasa tersaingi, merasa diabaikan, dan merasa ditolak, yang kemudian dapat menjadikan anak merasa tidak nyaman berada di sekolah dan akhirnya malas atau bahkan tidak mau bersekolah. Sementara itu, anak berkebutuhan khusus yang dalam lingkungan keluarganya sering mendapatkan pengalaman negatif sebagai akibat perlakuan yang tidak wajar, dapat menjadikan anak tidak percaya diri, merasa rendah diri, malu dan kemudian kurang motivasi atau bahkan takut untuk menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau lingkungan baru.

 

Kondisi ini akan diperparah apabila sikap-sikap masyarakat juga sering kali tidak menguntungkan bagi dirinya, seperti penolakan, penghinaan, sikap acuh tak acuh, ambivalen, serta ketidakjelasan tuntutan sosial. Yang terjadi kemudian, anak akan lebih senang untuk menyendiri dan menghindari relasi dengan orang lain. Nampak atau tidak nampaknya kelainan anak juga merupakan faktor penting dalam penyesuaian diri anak tunadaksa. Kelainan yang jelas tampak, memungkinkan anak lebih sulit untuk menyesuaikan diri dengan wajar dibandingkan yang kurang tampak, karena secara langsung akan berpengaruh terhadap identitas dirinya, yaitu proses dalam menempatkan dirinya dalam dunia sosial. Misalnya, pada anak tunadaksa. Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak. Anak berkebutuhan khusus memerlukan perlakuan yang wajar, bimbingan, pengarahan, belajar bersosialisasi dan bermain dengan teman seusianya, agar mendapat peluang dan kesempatan yang lebih luas untuk belajar tentang pola-pola perilaku yang datat diterima, sehingga tidak menghambat perkembangan sosialnya.

 

Keluarga merupakan faktor penting bagi kehidupan emosi anak. Pada anak usia sekolah dalam kondisi normal atau anak normal, kemampuan sosialisanya tidak mengalami penyimpangan/kelainan. Mereka mampu memiliki kedekatan emosinya, merasakan adanya kehangatan, cinta dan kasih sayang, dan perhatian, dan sikap kurang toleransi, mampu mengendalikan diri, merasa dihargai, sikap terbuka, dan merasa aman. Tidak ditemukan adanya ketidakseimbangan emosi (imbalance), yaitu kemampuan anak untuk mengendalikan emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan secara seimbang. Proses tersebut dapat dicapai dengan mengendalikan lingkungan dan mengembangkan toleransi emosional. Pengendalian lingkungan hanya dapat dilakukan pada waktu anak masih kecil. Dengan bertambahnya usia anak, perkembangan toleransi emosional harus ditingkatkan sehingga anak siap untuk menghadapi segala kemungkinan hidup ini, apapun emosi yang dialaminya. Mampu mengarahkan energi emosional ke dalam saluran ekspresi yang berguna dan dapat diterima oleh lingkungan sosial.

Pengertian, Jenis dan Hak Penyandang Disabilitas 

 

 

Apa itu Penyandang Disabilitas? 

Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

 

Istilah disabilitas berasal dari bahasa inggris yaitu different ability yang artinya manusia memiliki kemampuan yang berbeda. Terdapat beberapa istilah penyebutan menunjuk pada penyandang disabilitas, Kementerian Sosial menyebut dengan istilah penyandang cacat, Kementerian Pendidikan Nasional menyebut dengan istilah berkebutuhan khusus dan Kementerian Kesehatan menyebut dengan istilah Penderita cacat.

Berikut ini beberapa pengertian penyandang disabilitas dari beberapa sumber:

  • Menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006, penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang tidak mampu menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari kecacatan mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan fisik atau mentalnya.
  • Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, penyandang cacat/disabilitas merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
  • Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, penyandang cacat/disabilitas digolongkan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial.
  • Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.
  • Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

 

Jenis-jenis Penyandang Disabilitas

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Penyandang Disabilitas dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:

a. Cacat Fisik 

Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara. Cacat fisik antara lain: a) cacat kaki, b) cacat punggung, c) cacat tangan, d) cacat jari, e) cacat leher, f) cacat netra, g) cacat rungu, h) cacat wicara, i) cacat raba (rasa), j) cacat pembawaan.Cacat tubuh atau tuna daksa berasal dari kata tuna yang berarati rugi atau kurang, sedangkan daksa berarti tubuh. Jadi tuna daksa ditujukan bagi mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna.


Cacat tubuh dapat digolongkan sebagai berikut:

  1. Menurut sebab cacat adalah cacat sejak lahir, disebabkan oleh penyakit, disebabkan kecelakaan, dan disebabkan oleh perang.
  2. Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) tungkai dan lengan; cacat tulang, sendi, dan otot pada tungkai dan lengan; cacat tulang punggung; celebral palsy; cacat lain yang termasuk pada cacat tubuh orthopedi; paraplegia.


b. Cacat Mental 

Cacat mental adalah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain: a) retardasi mental, b) gangguan psikiatrik fungsional, c) alkoholisme, d) gangguan mental organik dan epilepsi.

c. Cacat Ganda atau Cacat Fisik dan Mental 

Yaitu keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus. Apabila yang cacat adalah keduanya maka akan sangat mengganggu penyandang cacatnya.

Menurut Reefani (2013:17), penyandang disabilitas dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Disabilitas Mental 

Disabilitas mental atau kelainan mental terdiri dari:

  1. Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas. 
  2. Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.
  3. Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh.


a. Disabilitas Fisik

Disabilitas Fisik atau kelainan fisik terdiri dari:

  1. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tuna daksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh. 
  2. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra). Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.
  3. Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.
  4. Kelainan Bicara (Tunawicara). Tunawicara adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara.


c. Tunaganda (disabilitas ganda) 

Tunaganda atau penderita cacat lebih dari satu kecacatan (cacat fisik dan mental) merupakan mereka yang menyandang lebih dari satu jenis keluarbiasaan, misalnya penyandang tuna netra dengan tuna rungu sekaligus, penyandang tuna daksa disertai dengan tuna grahita atau bahkan sekaligus.

Derajat Kecacatan Penyandang Disabilitas 

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 104/MENKES/PER/II/1999 tentang Rehabilitasi Medik pada Pasal 7 mengatur derajat kecacatan dinilai berdasarkan keterbatasan kemampuan seseorang dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, yaitu sebagai berikut:

  • Derajat cacat 1: Mampu melaksanakan aktivitas atau mempertahankan sikap dengan kesulitan. 
  • Derajat cacat 2: Mampu melaksanakan kegiatan atau mempertahankan sikap dengan bantuan alat bantu. 
  • Derajat cacat 3: Dalam melaksanakan aktivitas, sebagian memerlukan bantuan orang lain dengan atau tanpa alat bantu. 
  • Derajat cacat 4: Dalam melaksanakan aktivitas tergantung penuh terhadap pengawasan orang lain.
  • Derajat cacat 5: Tidak mampu melakukan aktivitas tanpa bantuan penuh orang lain dan tersedianya lingkungan khusus.
  • Derajat cacat 6: Tidak mampu penuh melaksanakan kegiatan sehari-hari meskipun dibantu penuh orang lain. 

 

Asas dan Hak-hak Penyandang Disabilitas 

Menurut Rahayu, dkk (2013:111), terdapat empat asas yang dapat menjamin kemudahan atau aksesibilitas penyandang disabilitas yang mutlak harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

  1. Asas kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
  2. Asas kegunaan, yaitu semua orang dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. 
  3. Asas keselamatan, yaitu setiap bangunan dalam suatu lingkungan terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk disabilitas.
  4. Asas kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai dan masuk untuk mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.



Menurut Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur bahwa setiap penyandang cacat/disabilitas, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Berdasarkan hal tersebut maka penyandang cacat/disabilitas berhak atas penyediaan sarana aksesibilitas yang menunjang kemandiriannya, kesamaan kesempatan dalam pendidikan, kesamaan kesempatan dalam ketenagakerjaan, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Dalam hal ini yang dimaksud rehabilitasi meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi pelatihan, dan rehabilitasi sosial.

Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat ditegaskan bahwa setiap penyandang cacat/disabilitas berhak memperoleh:

  1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. 
  2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya. 
  3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya
  4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya. 
  5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. 
  6. Hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

 

Jambi, 02-04 Mei 2019

Kegiatan Peningkatan Kapasitas bagi Aktivis PATBM dalam Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas di hari pertama diisi oleh salah satu pakar penyandang disabilitas sebagai narasumber, yaitu Ibu Eva Rahmi Kasim. Ibu Eva mengajak peserta berdiskusi mengenai mindset yang dimiliki peserta terkait perlindungan anak penyandang disabilitas. Ibu Eva membuka diskusi dengan menampilkan video-video terkait cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak penyandang disabilitas. Diskusi dimoderatori oleh Ibu Indrawati, S.Sos selaku kepala bidang perlindungan anak penyandang disabilitas dan psikososial.

Video pertama yang ditampilkan Ibu Eva untuk membuka diskusi adalah video berjudul “Talk to Me: Physical Disability Awareness”. Video tersebut menampilkan kehidupan seorang anak dengan cerebral palsy di lingkungan sosial di mana anak tersebut sangat jarang diajak berkomunikasi langsung oleh orang-orang di sekitarnya. Orang-orang cenderung akan bertanya pada orang tua atau pendamping anak yang bersangkutan jika ingin menanyakan sesuatu mengenai anak tersebut.

Melalui video pertama, Ibu Eva ingin membuka pandangan baru bagi para aktivis PATBM bahwa dengan diberikan fasilitas dan terapi yang baik, anak dengan cerebral palsy pun bisa diajak untuk berkomunikasi langsung. Anak penyandang disabilitas juga harus diajak berinteraksi layaknya anak lainnya, sehingga kemampuan sosialnya juga bisa berkembang.

Diskusi dilanjutkan dengan menampilkan video kedua dan ketiga. Video kedua berjudul “Helping Children with Disability” yang mengisahkan kehidupan inklusif yang dijalani anak-anak penyandang disabilitas di salah satu sekolah di India. Dalam video ditunjukkan bagaimana teman-teman dari anak-anak penyandang disabilitas tersebut sangat kooperatif dalam membantu teman-temannya dalam pergaulan di sekolah. Anak-anak penyandang disabilitas juga diberikan wadah dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mereka secara seimbang dengan anak-anak lainnya. Pemutaran video dilanjutkan dengan video ketiga yang berjudul “Cara Berinteraksi yang Beretika dengan Disabilitas Daksa”. Dalam video tersebut dijelaskan bagaimana cara kita membantu seseorang dengan disabilitas daksa agar tidak justru berbalik merugikan diri mereka.

Pada diskusi kedua, banyak ditemukan penggunaan kata “anak normal” dan “anak cacat” dari para peserta. Ibu Eva kemudian memberikan pandangan mengenai pemilihan kata ini, bahwa pada konteks anak penyandang disabilitas tidak ada batasan terhadap kondisi normal dan tidak normal. Yang ada hanyalah perbedaan fungsi jika dibandingkan dengan anak lainnya sehingga mindset normal dan tidak normal perlu dirubah untuk memberikan kondisi lingkungan yang suportif bagi anak penyandang disabilitas.


 

Malang, 26 Maret 2019.

 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak c.q Deputi Bidang Perlindungan Anak menyelenggarakan “Forum Komunikasi Keluarga Anak Penyandang Disabilitas” sebagai wadah dalam memfasilitasi suara dan aspirasi dari keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas.

 

Kegiatan dihadiri oleh 50 keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas di Kota dan Kabupaten Malang. Melalui kegiatan ini diharapkan keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas akan mendapatkan pengetahuan, keterampilan serta penguatan dari para narasumber yang dihadirkan.

 

Ibu Indrawati, S.Sos selaku Kepala Bidang Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas dan Psikososial menyampaikan bahwa "Mengingat masih tingginya kasus kekerasan terhadap anak di masyarakat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengajak semua unsur sampai tingkat pemerintahan terbawah juga termasuk keluarga, sebagai unsur terdekat dengan Anak, yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap perlindungan Anak Penyandang Disabilitas”.

 

Selanjutnya Ibu Indrawati, S.Sos membuka acara secara resmi yang didampingi oleh Kepala Dinas PPPA Kota dan Kabupaten Malang serta perwakilan dari Dinas PPPA Provinsi Jawa Timur.

 

Pematerian pertama menghadirkan Narasumber dari Universitas Pendidikan Indonesia yakni dr. Riksma Nurakhmi, M.Pd selaku dosen Pendidikan Khusus yang menyampaikan mengenai penguatan dan semangat bagi keluarga anak penyandang disabilitas. Bu Riksma menyampaikan “Salah satu cara dalam merawat dan mendidik anak penyandang disabilitas adalah dengan menjadi orang tua bahagia, sehingga kebahagiaan tersebut akan menular pada lingkungan termasuk anaknya”.

 

Setelah diberikan penguatan, dari sisi Pemerintah, Kepala Dinas PPPA Kabupaten Malang juga menyampaikan mengenai Tugas Pokok dan Fungsi Dinas PPPA dan P2TP2A dalam upaya memberikan pelayanan bagi anak penyandang disabilitas.

 

Terakhir adalah pemberian motivasi dari Ibu Siti Alfiyah, yang merupakan orangtua anak penyandang disabilitas. Ibu Siti mencoba untuk bisa membangkitkan sisi emosional seluruh orangtua dengan menceritakan pengalamannya dalam membesarkan anak-anaknya.

 

Di sesi terakhir, para peserta mengisi kuisioner mengenai harapan mereka kedepannya dalam merawat dan membesarkan anak penyandang disabilitas khususnya bagi Pemerintah. Hal ini menjadi acuan bagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak c.q Deputi Bidang Perlindungan Anak dalam menyusun program kerja kedepannya yang akan berdampak pada Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas.